Powered By Blogger

Rabu, 30 Mei 2012

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM UPACARA KARIA PADA MASYARAKAT MUNA DI DESA TOROBULU KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN

PROPOSAL PENELITIAN

 NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM UPACARA KARIA PADA MASYARAKAT MUNA DI DESA TOROBULU
KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN



OLEH
A  B  I  D  I  N
A2D1 09 123


JURUSAN  PENDIDIKAN  BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS  HALUOLEO
K E N D A R I
2 0 1 1


BAB I     PENDAHULUAN 
1.1         Latar  Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil, yang didiami oleh berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang beraneka ragam. Salah satu dari kebudayaan yang beraneka ragam itu adalah adanya upaya lingkaran hidup yang harus dilalui oleh setiap individu melalui upacara lingkaran hidup tersebut,yaitu dari masa bayi sampai kemasa dewasa. Salah satu upacara dalam lingkaran hidup tersebut adalah upacara peralihan yaitu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa Kebudayaan Nasional yang mencerminkan Nilai-nilai Bangsa harus dipelihara, dibina, dan dikembangkan dengan memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila meningkatkan kualitas hidup bangsa, memperkuat jati diri dan kebanggaan Nasional, memperbaiki jiwa persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah sangat perlu karena budaya yang berkepribadian dan kesadaran nasional cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Pada Masyarakat Muna terdapat upacara lingkaran hidup dalam kehidupan individunya, yang dimulai dari upacara kelahiran sampai sampai pada upacara kematian. Untuk  melaksanaka upacara tersebut seorang individu harus melalui tahap-tahap. Salah satu tahap tersebut adalah tahap/peralihan masa kanak-kanak kemasa dewasa khususnya wanita ada upacara yang mereka sebut upacara Karia.
Sejalan dengan pendapat Koenjaraningrat (1992:92) mengemukakan bahwa hampir semua kebudayaan di dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakat melalui tingkatan-tingkatan tertentu yang dalam Antropologi di sebut “Stages  the Along Live Cycle” yaitu peralihan dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubert, masa sesudah menikah, masa hamil sampai melahirkan, sampai masa tua. Pada masa peralihan masa, para individu beralih dari satu tingkat kehidupan ketingkat lain, biasanya diadakan pesta atu upacara peralihan sepanjang hidup individu itu ada hampir semua kebudayaan diseluruh dunia.
Dalam satu kebudayaan saat peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa atau kemasa pubert, dianggap suatu masa yang gawat.  Oleh karena itu harus diadakannya suatu upacara disepanjang hidip individu tersebut. Hal ini disebabkan karena suatu kesadaran umum diantara semua manusia, bahwa tiap tingkat baru dalam kehidupan individu, membawa si individu ke dalam lingkaran sosial yang baru dan lebih luas.
Upacara karia merupakan upacara yang sangat penting dalam rangka upacara-upacara adat disepanjang hidup individu pada masyarakat Muna. Upacara karia merupakan upacara inisiasi yang dilakukan kepada setiap wanita yang memasuki usia dewasa. Menurut pemahaman Masyarakat Muna, bahwa seorang wanita tidak boleh menikah jika belum melalui proses upacara Karia. Bagi wanita yang sudah menikah namun belum melalui upacara karia akan merasa tersisih dan akan dikucilkan dalam masyarakatnya. Karia merupakan upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditunjukan pada penyucian diri manusia, khususnya wanita dari suatu tingkat kehidupan yaitu masa kanak-kanak ke masa dewasa dan telah siap untuk berumah tangga dan wanita yang sudah melakukan upacara karia tersebut sudah dapa melaksanakan pernikahan. Menurut informasi dan  pengamatan di lapangan bahwa pelaksanaan karia di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konsel telah mengalami perubahan sebagaimana ketentuan adat.
Untuk itu, penelitian ini perlu dilakukan guna mengangkat fungsi-fungsi di dalam upacara karia dimana diera globalisasi yang serba rasional, masyarakat Muna masih tetap mempertahankan upacara karia sebagai upacara dalam siklus kehidupan mereka.

1.2          Masalah
Masalah yang akan diteliti ialah bagaimanakah nilainilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.

1.3          Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.


1.4           Manfaat penelitian
Manfaat yang bias dipetik dalam penelitian ini adalah:
1.      Peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
2.      Dapat mempertahankan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
3.      Sebagai bahan pembelajaran dalam mewariskan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia, khususnya di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.



BAB II   KAJIAN PUSTAKA

2.1        Pengertian kesusastraan
Berbicara tentang sasstra, kita kan dihadapkan dengan begitu banyak batasan tentang sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Meskipun batasan-batasan yang dikemukakan tidek sepenuhnya memuaskan, karena masing-masing dari mereka mengeukakan batasan tersebut sesuai dengan versi mereka masing-masing, akan tetapi pada umumnya batasan yang dikemukakan itu semuanya menggambarkan tentang kehidupan dalam kurun waktu tertentu, karena sastra merupakan hasil kreasi seni yang imajinatif.
Sumarjo dalam Herman (2010:8) mengatakan bahwa tidak mungkin meberikan definisi yang universal tentang sastra. Sastra bukanlah benda yang kita jumpai. Sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu dalam lingkungan kebudayaan. Sastra harus ditinjau dari dua segi, yaitu bahasa da nisi (Badudu dalam Soetarno, 2008:1). Lebih lanjur Hashim Awang dalam Soetarno,2008:1) mengemukakan bahwa sastra merupakan ciptaan seni yang disampaikan melalui bahasa.
Pengertian sastra juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dalam Herman (2010:9) bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pkiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran secarqa konkrit yang membangkitkan pesona dalam bentuk bahasa.

2.2        Pengertian Kebudyaan
Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan (akal) manusia seperti kepercayaan, adat-istiadat. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami ligkungan serta pengalaman yang menjadi pedoman tingkah laku hasil akal dari sekeliling. (Moeliono dalam Malonda, 2011:8). Kebudayaan adalah satuan sejarah manusia sendiri yakni manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial sekaligus menyimpul isi sebenarnya tidak lepas dari konsekuensi logis dan sosial sekaligus. (hasan dalam Malonda, 2011:8)
Kebudayaan sering diartikan sebagai hl-hal yang berkaitan dengan budi dan akal, yang pada dasarnya berpangkal pada potensi rohaaniah itu, mengembangkan diri pada 3 aspek, yaitu:
1.      Aspek potensi cipta, yang berwujud dalam karya-karya ilmiah (logika) Mendapatkan dorongan kegiatan  dari akal budi manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
2.      Aspek potensi karsa, yang terwujud dalam norma atau kaidah tentang kebijakan dan kepatuhan (etika dalam kehidupan manusia) yang mendapatkan dorongan kegiatan dalam harkat manusia sebagai mahluk budaya.
3.      Aspek potensi rasa, yaitu yang terwujud dalam perasaan keindahan dan keserasian (etika) dalam kehidupan manusa sebagai makhluk budaya. (mattulada dalm Malonda, 2011:9)
Ketiga unsur udaya tersebut mendorong tumbuhnya dinamika dalam keidupan, karena itulah yang melahirkan makna dan menumbuhkan bagi sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dari potensi alam yang dikelolah dari benda budaya.
Kebudayaan merupakan keseluruhan cara kehidupan masyarakat manapun dan tidak hanya mengenai cara hidup itu, merupakan bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan . (Irhono dalam Malonda, 2011:10).
Jadi kebudayaan itu meiliki unsur-unsur yang universal, misalnya organisasi, bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi, sistem religi dan kesenian.

2.3        Sastra Lama
Karya sastra lama lahir dalam masyarakat lama dan pada zamannya pula. Masyarakat pada waktu itu masih memegang adat istiadat yang masih berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat serta ajaran-ajaran agama.
Karya sastra ini merupakan hasil cipta rasa manusia. Karya sastra lahir dari ekspresi jiwa seorang pengarang. Suatu hasil karya dikatakan sebagai karya sastra apabila isinya dapat menimbulkan perasaan haru, menggugah, kagum dan mendapat tempat di hati penikmatnya. Karya sastra yang seperti itu dapat dikatakan karya sastra yang adiluhung, yaitu suatu karya sastra yang dapat menembus ruang dan waktu. Karya sastra lama atau klasik lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat. Karya-karya kesusastraan lama sangat dipengaruhi oleh muatan local yang berupa adat istiadat dan budaya yang berlaku pada zamannya.

2.4        Sastra Lisan
Secara historis, jumlah hasil karya sastra lisan lebih banyak disbanding karya sastra tulis.  Diantara jenis sastra lisan tersebut diantaranya pantun dan peri bahasa, gurindam, dongeng, legenda, dan syair pada mulanya juga merupakan sastra tradisi lisan. Namun perkembangan jenis sastra ini mengalami perubahan ketika menjadi bagian dari kehidupan di istana-istana melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis menulis. Tampaknya ini merupakan bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan.
Tuloli dalam Malonda (2011:12) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi pada sastra lisan disebabkan oleh pengaruh perkembangan masyarakat dari berbagai sendi kehidupan, baik itu pendidikan, ekonomi, politik dan kepercayaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Finengan dalam Alimin (2011:12) yang menyatakan bahwa keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografis, sejarah, ekonomi, kepercayaan, agama, serta semua aspek-aspek yang berkenaan dengan kebudayaan lainnya. Budaya lisan secara etimologi berasal dari oral kultur. Pembicaraan mengenai sastra budaya lisan dipertentangkan dengan sastra lisan atau cerita rakyat yang pada umumnya berbentuk lisan. Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan dan diturun temurunkan secara lisan dari mulut kemulut.
Sastra lisan dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
1.      Bahasa rakyat seperti logat dan sindiran.
2.      Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah maupun nasehat.
3.      Pertanyaan rakyat, seperti wata-watangke dalam masyarakat muna.
4.      Puisi rakyat, seperti pantun dan syair.
5.      Cerita rakyat seperti mite, dongeng dan legenda.
6.      Nyanyian rakyat. Gaffar dalam Malonda (2011:13)
Hutomo dalam Malonda (2011:12) mengemukakan bahwa sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi warga suatu kehidupan yang disebarluaskan dan diturun-temurunkan pada generasi berikutnya secara lisan dari mulut kemulut. Penyebarluasan ini selanjutnya membagi sastra lisan dalam 3 bagian yaitu:
1.      Bahasa yang bercorak cerita seperti cerita biasa, mitos, efik, memori, dan cerita tutur.
2.      Bahasa yang bukan cerita seperti ungkapan, nyanyian kerja, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, dan nyanyian sedih misalnya lagu lakadandio.
3.      Bahassa yang bercorak latihan seperti drama pentas, dan drama arena.

2.5        Tradisi Lisan
Tradisi sejarah di Indonesia pada umumnya berada dalam lingkungan keratin (istana sentris) dimana hasilnya dikenal sebagai sejarah tradisional (historograf traditional). Dalam lingkungan kerato terdapat orang ahli menulis yang disebut dengan istilah pujangga. Para pujangga umumnya menuliskan silsilah kehidupan keluarga raja, hokum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya, biasanya para pujangga ini menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapat pulung (charisma) yang diwariskan oleh penguasa sebelumnya.  Misalnya karya histeriografis traditional Kitab para raton, Sundayana, Rustaka Wansa Kerta, cerita para hiyangan, dan babat tanah jawi.
Dalam tradisi lisan, Peranan orang yang dituakan dalam kelompok msyarakat seperti kepala adat atau kepala suku sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelomponya untuk menjaga dan memelihara tradisi mereka yang diturunkan secara turun-temurun. Satu elomok adat dalam masyarakat yang mempunyai nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan, akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, jejak-jejak masa lampaunya disebar luaskan dan diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya secara lisan dengan menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian ari sebuah folklore.
Folklore diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut dan warnah kulit) sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Ciri-ciri folklore adalah penyebaran dan pewarisannya lebih banyak diturunkan secara lisan, bersifat tradisional, anonym, kolektf, dan mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.
Masyarakat yang belum mengenal tulisan, mereka mempertahankan tradisi leluhur mereka secara lisa. Cara mereka menyumbangkan tradisi sejarah adalah dengan mewariskannya secara lisan menurut ingatan kolektif anggota masyarakatnya. Cara lain addalah dibuatnya dalam bentuk karya seperti lukisan, monument, tugu, dan peralatan hidup.
2.6        Pengertian Nilai
Kandungan nilai suatu karya sastra lama adalah unsur esensial dari karya itu secara keseluruhan. Pengungkapan nilai-nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra buka saja akan memberikan pemahaman akan latar belakang sosial yang terjadi dalam masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Supardji Joko Darmo dalam Herman (2010:9) bahwa sastra mencerminkan norma, yakni ukuran perilaku yang oleh anggota masyarakat diterima sebagai cara yang benar dalam bertindak dan menyimpulkan sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan dan diusahakan oleh warganya dalam masyarakat. (Yunus, dkk. Dalam Herman, 2010:10)
Nilai adalah sesuatu yang penting atau hal-hal yang bermafaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta yang membentuk suatu cara dalam sistem masyarakat sosial yang merupakan rantai penghubung secara terus-menerus dari kehidupan generasi berikutnya.
Penjabaran nilai dalam karya sastra oleh banyak ahli, sangatlah beragam. Wahid dalam Herman (2010:11) mengemukakan bahwa seorang penulis tidak mungkin mengelakkan diri dari penggunaan ide mengenai nilai. Selanjutnya nilai-nilai tersebut dapat diuraikan dalam kelompok yang lebih kecil yaitu nilai agama terdiri atas nilai tauhid, nilai pengetahuan, nilai menyerah kepada takdir; nilai sosial terdiri atas nilai gotong royong, musyawarah, kepatuhan, kesetiaan dan keikhlasan; nilai moral terdiri atas nilai kejujuran, kesopanan, ketabahan, dan menuntut malu atau harga diri. (Zahafudin dalm Herman, 2010:11)

2.7        Nilai Pendidikan
Kata pendidkan berasal dari kata pedagogi (pedagogie, bahsa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogi (paedagogik) yang berarti ilmu pendidkan yang berasal dari bahasa yunani.pedagogi berasal dari 2 kata yaitu Paedos yang berarti anak dan Agoge yang berarti saya membimbing.sedangkan pedagogis ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa) dari sekolah. Pendidkan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan, dan keterampilan pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai pada perkembagnan iman. Perkembangan ini mengacu pada perkembangan manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia  meningkatkan hidupnya pada kehidupan alamiah menjadi berbudya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge, dalam Malonda (2011:24) dalam bukunya Philosophy of Education, menyatakan dalam pengertian yang luas, pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya tidak semua pengalaman itu dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencontek, bolos sekolah misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya mempunyai banyak pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia itu sendiri, maupun dihadapan Tuhan.



BAB III  METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1  Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1        Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif metode ini berhubungan langsung dengan pengumpulan dan pengkajian data dalam laporan penelitian. Penggunaan  metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistematis, factual, dan akurat melalui pengamatan yang direalisasikan melalui kata atau kalimat, bukan dengan data statistik. Semua akan dikemukakan dengan apa adanya sesuai kenyataan dan pengamatan yang ditemukan dalam penelitian.
Pendekatan kualitatif digunakan karena hal yang akan diteliti berkenaan dengan gejala-gejala sosial budaya, dalam hal ini masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan, serta penelitian ini juga berusaha untuk memahami konteks budaya masyaarakat Muna yang ada di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan sehingga dapa menemukan gambaran-gambaran umum terkait objek yang akan diteliti.



3.1.2        Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Peneliti terlibat langsung di lapangan untuk mengamati serta memperoleh dan mengumpulkan semua data yang dibutuhkan saat penelitian.

3.2  Data dan Sumber Data
Data dalam  penelitian ini adalah hasil pengematan pada prosesi upacara Karia yang direkam langsung serta wawancara dengan informan tokoh adat yang menjadi informan dalam penelitian ini. Sumber data dalam penelitian ini adalah sekelompok orang yang mengadakan prosesia Karia serta yang mengetahui jalannya prosesi karia itu sendiri, dalam hal ini tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat.

3.3  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik rekaman dan catat. Teknik pengambilan datanya yatu:
1.      Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan dalam prosesi karia pada masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
2.      Teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan prosesi karia dengan cara mencatat hal-hal penting di luar data rekaman untuk memperoleh informasi tambahan.



3.4  Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk kata atau kalimat untuk menemukan unsur-unsurnya. Adapun tahapannya yaitu:
1.      Transkrip rekaman data, yaitu memindahkan data kedalam bentuk tulisan yang sebenarnya.
2.      Klasifikasi data, mengumpulkan semua data yang sesuai dengan bentuk karakter yang memenuhi syarat.
3.      Penerjemahan data, yaitu menerjemahkan semua data yang dikumpulkan, ke dalam bahasa Indonesia
4.      Deskripsi, yaitu peneliti mendeskripsikan secara keseluruhan nilai yang terdapat dalam prosesi upacara karia.
5.      Analisis data, yaitu peneliti menganalisis semua data  yang telah dikumpulkan baik dalam bentuk tulisan maupun rekaman berdasasrkan maknanya.















DAFTAR PUSTAKA

Soetarno, 2008. Peristiwa Sastra Melayu Lama. Jakarta: Widya Duta
Djamaris Edwar, 1993. Menggali Khazana Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Balai Pustaka
Malonda Alimin, 2011. Nilai Pendidikan dan Nilai Moral dalam Falia pada Masyarakat Muna di Kecamatan Parigi Kabupaten Muna, Skripsi. Kendari: FKIP

Rabu, 23 Mei 2012

MEDIA JURNALISTIK
DEFINISI MEDIA DAN MEDIA JURNALISTIK SERTA SEJARAH PERKEMBANGAN JURNALISTIK

OLEH
ABIDIN
A2D1 09123

A.        Pendahuluan
Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Jurnalisme dapat dikatakan “coretan pertama dalam sejarah”. Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan. Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Tugas seorang jurnalis tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi pesan atau berita yang di tulis oleh seorang jurnalis, harus sampai keada khalayak  pembaca bagi media cetak serta pemirsa bagi media elektronik. Dalam jurnal ini akan debahas mengenai definisi media pada jurnalistik serta perkembangan, fungsi dan  jenis-jenis media jurnalistik itu sendiri.

B.     Pembahasan
a.       Definisi Media
Media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Jadi dapat dipahami bahwa media adalah perantara atau pengantar dari pengirim ke penerima pesan. Menurut Santoso S. Hamidjojo dalam Amir Achsin (1980), media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang menyebar ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima.
Definisi media dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI), media /média/ n 1. alat; 2. alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; 3 yg terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb); 4. perantara; penghubung; 5. zat hara yg mengandung protein, karbohidrat, garam, air, dsb baik berupa cairan maupun yg dipadatkan dng menambah gelatin untuk menumbuhkan bakteri, sel, atau jaringan tumbuhan.
b.      Definisi Media Jurnalistik
Media jurnalistik adalah alat yang digunakan dalam jurnalistik untuk menyampaikan laporan mengenai kejadian atau peristiwa baik melalui media elektronik (televisi dan radio) maupun media non elektronik (koran atau surat kabar). Media ini berfungsi sebagai bentuk perantara yang dipakai oleh para jurnalis untuk menyebar atau menyampaikan ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima atau khalayak ramai dalam hal ini pembaca.
Ciri-ciri media jurnalistik adalah disebarluaskan kepada khalayak luas; pesan atau isinya bersifat umum; tetap atau berkala; berkesinambungan atau terjaga kontinuitasnya; dan berisi hal-hal baru aktualitas. Media massa ada yang bersifat komersial (dijual dan menerima iklan). Ada pula yang bersifat non komersial dan dibiayai oleh lembaga penyelenggaranya. Biasanya media massa non komersial diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kenegaraan, keagamaan, pemerhati lingkungan dan sosial kemasyarakatan, atau sebagai alat promosi dan PR bagi perusahaan besar. Misalnya majalah maskapai penerbangan yang ditaruh di masing-masing kursi pesawat.
c.       Jenis-jenis media jurnalistik
a)     Media jurnalistik tradisional
Media jurnalistik tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
  1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
  2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
  3. Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
  4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.
b)     Media jurnalistik modern
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.      Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
  1. Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
  2. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
  3. Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
  4. Penerima yang menentukan waktu interaksi
d.      Pengaruh dan Fungsi media Jurnalistik
Negara berkewajiban untuk memberikan informasi seluas-luas bagi seluruh warganya dalam hal mendapatkan informasi. Kewajiban negara ini harus dipenuhi agar kehidupan bernegara bisa berjalan sehat. Oleh karena itu negara mengeluarkan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sebagai jaminan bagi seluruh warga negara mendapatkan informasi seluas-luasnya.
Media jurnalistik memiliki fungsi dan peran sangat penting sebagai pengemban amanat rakyat, dalam mewakili kepentingan publik untuk mendapatkan informasi tersebut. Karena itulah kebebasan pers juga perlu mendapat jaminan atau payung hukum yaitu dikeluarkannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
a)     Pengaruh media massa pada budaya
Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampak bisa dilihat dari:
1.      skala kecil (individu) dan luas (masyarakat)
2.      kecepatannya, yaitu cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.
Pengaruh media bisa ditelusuri dari fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model komunikasi hingga sekarang, yaitu :
  1. Siapa (who)
  2. Pesannya apa (says what)
  3. Saluran yang digunakan (in what channel)
  4. Kepada siapa (to whom)
  5. Apa dampaknya (with what effect)
Model ini adalah garis besar dari elemen-elemen dasar komunikasi. Dari model tersebut, Laswell mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media.
b)     Fungsi-fungsi media massa pada budaya
  1. Fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan.
  2. Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.
  3. Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.
  4. Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).
c)      Fungsi media massa pada pribadi
Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media.
Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.
Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "Catatan si Boy".
Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.
Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain.

e.       Sejarah Perkembangan Media Jurnalistik
Kegiatan dunia jurnalistik di  Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak. Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi. Sekarang, perkembangan  dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak. Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif sampai sekarang. Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
Sebelum tahun 1998, penerbitan media massa cetak memerlukan ijin khusus yang pengurusannya sangat rumit dan berbelit serta memerlukan dana besar. Hingga pada waktu itu SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Setelah tahun 1998, penerbitan media massa cetak bisa dilakukan dengan bebas oleh siapa saja. Periodisasi terbitnya media massa cetak pada umumnya adalah: harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, dua bulanan, tiga bulanan, empat bulanan, tengah tahunan dan tahunan. Media massa yang terbit harian, umumnya koran. Sementara yang terbitnya dua bulanan sampai setahun sekali umumnya jurnal. Periodisasi yang paling banyak digunakan, selain harian adalah mingguan dan bulanan. Biasanya tabloid dan majalah menggunakan pola terbit mingguan dan bulanan.

f.        Pergeseran Fungsi Media Jurnalistik
Aktivita jurnalistik sebagaimana dimaklumi bersama, bukan hanya monopoli orang-orang tertentu. Kalau dulu dunia jurnalitik memerlukan modal untuk membuat media, kemudian bagi orang yang terlibat menjadi wartawan biasanya hrus punya bassic jurnalistik. Paling tidak mereka adalah orang-orang yang telah diseleksi dengan ketat. Dari sisi media, dunia jurnalistik memiliki empat fungsi yang telah kita mafhumi bersama. Namun dunia jurnalistik saat ini mengalami pergeseran. Kini media tidak hanya memberikan informasi atau mendidikan, tetapi juga harus memeberikan inspirasi kepada publik. Dengan media, saat ini publik dituntut untuk dapat melakukan sesuatu. Di abad ini memang pada dasarnya orang tidak hanya butuh mendapatkan informasi tetepi juga butuh inspirasi. Inspirasi untuk berfikir sesuatu dan inspirasi untuk melakukan sesuatu. Mengapa seperti ini, karena kini kita sesungguhnya ada di abad kreatifitas (bukan lagi abad informasi). Untuk melakukan kreatifitas tentu saja kita memerlukan inspirasi. Di sinilah posisi media menjadi penting. Termasuk di dalamnya adalah dunia blog atau media online. Karenanya dari mulai media maenstream sampai media baru, dari jurnalis profesional sampai jurnalis warga diharapkan selain memberikan informasi dan pencerahan, juga dapat memeberikan panduan bagaimana melakukan kreatifitas. Dengan demikian di tengan kondisi bangsa yang banyak persoalan ini, publik dapat memberikan kontribusi nyata, tidak hanya berwacana.

C.      Penutup
Media berarti perantara atau pengantar. Jadi dapat dipahami bahwa media adalah perantara atau pengantar dari pengirim ke penerima pesan. Menurut Santoso S. Hamidjojo dalam Amir Achsin (1980), media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang menyebar ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima. Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI), media /média/ n 1. alat; 2. alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk; 3 yg terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb); 4. perantara; penghubung; 5. zat hara yg mengandung protein, karbohidrat, garam, air, dsb baik berupa cairan maupun yg dipadatkan dng menambah gelatin untuk menumbuhkan bakteri, sel, atau jaringan tumbuhan. (KBBI).
Media jurnalistik adalah alat yang digunakan dalam jurnalistik untuk menyampaikan laporan mengenai kejadian atau peristiwa baik melalui media elektronik (televisi dan radio) maupun media non elektronik (koran atau surat kabar).


DAFTAR PUSTAKA
Barus, Sedia Willing. 1996. Jurnalistik Petunjuk Praktis Menulis Berita. Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi
Anonim. 2009. Definisi Paragraf dan Syarat Terbentuknya. Jakarta: http://blog-indonesia.com/blog-archive-12181-16.html