Powered By Blogger

Rabu, 30 Mei 2012

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM UPACARA KARIA PADA MASYARAKAT MUNA DI DESA TOROBULU KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN

PROPOSAL PENELITIAN

 NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM UPACARA KARIA PADA MASYARAKAT MUNA DI DESA TOROBULU
KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN



OLEH
A  B  I  D  I  N
A2D1 09 123


JURUSAN  PENDIDIKAN  BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS  HALUOLEO
K E N D A R I
2 0 1 1


BAB I     PENDAHULUAN 
1.1         Latar  Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil, yang didiami oleh berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang beraneka ragam. Salah satu dari kebudayaan yang beraneka ragam itu adalah adanya upaya lingkaran hidup yang harus dilalui oleh setiap individu melalui upacara lingkaran hidup tersebut,yaitu dari masa bayi sampai kemasa dewasa. Salah satu upacara dalam lingkaran hidup tersebut adalah upacara peralihan yaitu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa Kebudayaan Nasional yang mencerminkan Nilai-nilai Bangsa harus dipelihara, dibina, dan dikembangkan dengan memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila meningkatkan kualitas hidup bangsa, memperkuat jati diri dan kebanggaan Nasional, memperbaiki jiwa persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah sangat perlu karena budaya yang berkepribadian dan kesadaran nasional cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Pada Masyarakat Muna terdapat upacara lingkaran hidup dalam kehidupan individunya, yang dimulai dari upacara kelahiran sampai sampai pada upacara kematian. Untuk  melaksanaka upacara tersebut seorang individu harus melalui tahap-tahap. Salah satu tahap tersebut adalah tahap/peralihan masa kanak-kanak kemasa dewasa khususnya wanita ada upacara yang mereka sebut upacara Karia.
Sejalan dengan pendapat Koenjaraningrat (1992:92) mengemukakan bahwa hampir semua kebudayaan di dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakat melalui tingkatan-tingkatan tertentu yang dalam Antropologi di sebut “Stages  the Along Live Cycle” yaitu peralihan dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubert, masa sesudah menikah, masa hamil sampai melahirkan, sampai masa tua. Pada masa peralihan masa, para individu beralih dari satu tingkat kehidupan ketingkat lain, biasanya diadakan pesta atu upacara peralihan sepanjang hidup individu itu ada hampir semua kebudayaan diseluruh dunia.
Dalam satu kebudayaan saat peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa atau kemasa pubert, dianggap suatu masa yang gawat.  Oleh karena itu harus diadakannya suatu upacara disepanjang hidip individu tersebut. Hal ini disebabkan karena suatu kesadaran umum diantara semua manusia, bahwa tiap tingkat baru dalam kehidupan individu, membawa si individu ke dalam lingkaran sosial yang baru dan lebih luas.
Upacara karia merupakan upacara yang sangat penting dalam rangka upacara-upacara adat disepanjang hidup individu pada masyarakat Muna. Upacara karia merupakan upacara inisiasi yang dilakukan kepada setiap wanita yang memasuki usia dewasa. Menurut pemahaman Masyarakat Muna, bahwa seorang wanita tidak boleh menikah jika belum melalui proses upacara Karia. Bagi wanita yang sudah menikah namun belum melalui upacara karia akan merasa tersisih dan akan dikucilkan dalam masyarakatnya. Karia merupakan upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditunjukan pada penyucian diri manusia, khususnya wanita dari suatu tingkat kehidupan yaitu masa kanak-kanak ke masa dewasa dan telah siap untuk berumah tangga dan wanita yang sudah melakukan upacara karia tersebut sudah dapa melaksanakan pernikahan. Menurut informasi dan  pengamatan di lapangan bahwa pelaksanaan karia di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konsel telah mengalami perubahan sebagaimana ketentuan adat.
Untuk itu, penelitian ini perlu dilakukan guna mengangkat fungsi-fungsi di dalam upacara karia dimana diera globalisasi yang serba rasional, masyarakat Muna masih tetap mempertahankan upacara karia sebagai upacara dalam siklus kehidupan mereka.

1.2          Masalah
Masalah yang akan diteliti ialah bagaimanakah nilainilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.

1.3          Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.


1.4           Manfaat penelitian
Manfaat yang bias dipetik dalam penelitian ini adalah:
1.      Peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
2.      Dapat mempertahankan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia pada masyarakat muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
3.      Sebagai bahan pembelajaran dalam mewariskan Nilai-nilai pendidikan dalam upacara karia, khususnya di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.



BAB II   KAJIAN PUSTAKA

2.1        Pengertian kesusastraan
Berbicara tentang sasstra, kita kan dihadapkan dengan begitu banyak batasan tentang sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Meskipun batasan-batasan yang dikemukakan tidek sepenuhnya memuaskan, karena masing-masing dari mereka mengeukakan batasan tersebut sesuai dengan versi mereka masing-masing, akan tetapi pada umumnya batasan yang dikemukakan itu semuanya menggambarkan tentang kehidupan dalam kurun waktu tertentu, karena sastra merupakan hasil kreasi seni yang imajinatif.
Sumarjo dalam Herman (2010:8) mengatakan bahwa tidak mungkin meberikan definisi yang universal tentang sastra. Sastra bukanlah benda yang kita jumpai. Sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu dalam lingkungan kebudayaan. Sastra harus ditinjau dari dua segi, yaitu bahasa da nisi (Badudu dalam Soetarno, 2008:1). Lebih lanjur Hashim Awang dalam Soetarno,2008:1) mengemukakan bahwa sastra merupakan ciptaan seni yang disampaikan melalui bahasa.
Pengertian sastra juga dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dalam Herman (2010:9) bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pkiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran secarqa konkrit yang membangkitkan pesona dalam bentuk bahasa.

2.2        Pengertian Kebudyaan
Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan (akal) manusia seperti kepercayaan, adat-istiadat. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami ligkungan serta pengalaman yang menjadi pedoman tingkah laku hasil akal dari sekeliling. (Moeliono dalam Malonda, 2011:8). Kebudayaan adalah satuan sejarah manusia sendiri yakni manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial sekaligus menyimpul isi sebenarnya tidak lepas dari konsekuensi logis dan sosial sekaligus. (hasan dalam Malonda, 2011:8)
Kebudayaan sering diartikan sebagai hl-hal yang berkaitan dengan budi dan akal, yang pada dasarnya berpangkal pada potensi rohaaniah itu, mengembangkan diri pada 3 aspek, yaitu:
1.      Aspek potensi cipta, yang berwujud dalam karya-karya ilmiah (logika) Mendapatkan dorongan kegiatan  dari akal budi manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
2.      Aspek potensi karsa, yang terwujud dalam norma atau kaidah tentang kebijakan dan kepatuhan (etika dalam kehidupan manusia) yang mendapatkan dorongan kegiatan dalam harkat manusia sebagai mahluk budaya.
3.      Aspek potensi rasa, yaitu yang terwujud dalam perasaan keindahan dan keserasian (etika) dalam kehidupan manusa sebagai makhluk budaya. (mattulada dalm Malonda, 2011:9)
Ketiga unsur udaya tersebut mendorong tumbuhnya dinamika dalam keidupan, karena itulah yang melahirkan makna dan menumbuhkan bagi sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dari potensi alam yang dikelolah dari benda budaya.
Kebudayaan merupakan keseluruhan cara kehidupan masyarakat manapun dan tidak hanya mengenai cara hidup itu, merupakan bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan . (Irhono dalam Malonda, 2011:10).
Jadi kebudayaan itu meiliki unsur-unsur yang universal, misalnya organisasi, bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi, sistem religi dan kesenian.

2.3        Sastra Lama
Karya sastra lama lahir dalam masyarakat lama dan pada zamannya pula. Masyarakat pada waktu itu masih memegang adat istiadat yang masih berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat serta ajaran-ajaran agama.
Karya sastra ini merupakan hasil cipta rasa manusia. Karya sastra lahir dari ekspresi jiwa seorang pengarang. Suatu hasil karya dikatakan sebagai karya sastra apabila isinya dapat menimbulkan perasaan haru, menggugah, kagum dan mendapat tempat di hati penikmatnya. Karya sastra yang seperti itu dapat dikatakan karya sastra yang adiluhung, yaitu suatu karya sastra yang dapat menembus ruang dan waktu. Karya sastra lama atau klasik lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat. Karya-karya kesusastraan lama sangat dipengaruhi oleh muatan local yang berupa adat istiadat dan budaya yang berlaku pada zamannya.

2.4        Sastra Lisan
Secara historis, jumlah hasil karya sastra lisan lebih banyak disbanding karya sastra tulis.  Diantara jenis sastra lisan tersebut diantaranya pantun dan peri bahasa, gurindam, dongeng, legenda, dan syair pada mulanya juga merupakan sastra tradisi lisan. Namun perkembangan jenis sastra ini mengalami perubahan ketika menjadi bagian dari kehidupan di istana-istana melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis menulis. Tampaknya ini merupakan bagian dari wujud interaksi positif antara sastra lisan dan tulisan.
Tuloli dalam Malonda (2011:12) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi pada sastra lisan disebabkan oleh pengaruh perkembangan masyarakat dari berbagai sendi kehidupan, baik itu pendidikan, ekonomi, politik dan kepercayaan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Finengan dalam Alimin (2011:12) yang menyatakan bahwa keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografis, sejarah, ekonomi, kepercayaan, agama, serta semua aspek-aspek yang berkenaan dengan kebudayaan lainnya. Budaya lisan secara etimologi berasal dari oral kultur. Pembicaraan mengenai sastra budaya lisan dipertentangkan dengan sastra lisan atau cerita rakyat yang pada umumnya berbentuk lisan. Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan dan diturun temurunkan secara lisan dari mulut kemulut.
Sastra lisan dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
1.      Bahasa rakyat seperti logat dan sindiran.
2.      Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah maupun nasehat.
3.      Pertanyaan rakyat, seperti wata-watangke dalam masyarakat muna.
4.      Puisi rakyat, seperti pantun dan syair.
5.      Cerita rakyat seperti mite, dongeng dan legenda.
6.      Nyanyian rakyat. Gaffar dalam Malonda (2011:13)
Hutomo dalam Malonda (2011:12) mengemukakan bahwa sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi warga suatu kehidupan yang disebarluaskan dan diturun-temurunkan pada generasi berikutnya secara lisan dari mulut kemulut. Penyebarluasan ini selanjutnya membagi sastra lisan dalam 3 bagian yaitu:
1.      Bahasa yang bercorak cerita seperti cerita biasa, mitos, efik, memori, dan cerita tutur.
2.      Bahasa yang bukan cerita seperti ungkapan, nyanyian kerja, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, dan nyanyian sedih misalnya lagu lakadandio.
3.      Bahassa yang bercorak latihan seperti drama pentas, dan drama arena.

2.5        Tradisi Lisan
Tradisi sejarah di Indonesia pada umumnya berada dalam lingkungan keratin (istana sentris) dimana hasilnya dikenal sebagai sejarah tradisional (historograf traditional). Dalam lingkungan kerato terdapat orang ahli menulis yang disebut dengan istilah pujangga. Para pujangga umumnya menuliskan silsilah kehidupan keluarga raja, hokum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya, biasanya para pujangga ini menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapat pulung (charisma) yang diwariskan oleh penguasa sebelumnya.  Misalnya karya histeriografis traditional Kitab para raton, Sundayana, Rustaka Wansa Kerta, cerita para hiyangan, dan babat tanah jawi.
Dalam tradisi lisan, Peranan orang yang dituakan dalam kelompok msyarakat seperti kepala adat atau kepala suku sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh kelomponya untuk menjaga dan memelihara tradisi mereka yang diturunkan secara turun-temurun. Satu elomok adat dalam masyarakat yang mempunyai nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan, akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan, jejak-jejak masa lampaunya disebar luaskan dan diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya secara lisan dengan menjadi bagian dari tradisi lisan. Karya-karya dalam tradisi lisan merupakan bagian ari sebuah folklore.
Folklore diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik (bahasa, rambut dan warnah kulit) sosial dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok masyarakat lainnya. Ciri-ciri folklore adalah penyebaran dan pewarisannya lebih banyak diturunkan secara lisan, bersifat tradisional, anonym, kolektf, dan mempunyai pesan moral bagi generasi berikutnya.
Masyarakat yang belum mengenal tulisan, mereka mempertahankan tradisi leluhur mereka secara lisa. Cara mereka menyumbangkan tradisi sejarah adalah dengan mewariskannya secara lisan menurut ingatan kolektif anggota masyarakatnya. Cara lain addalah dibuatnya dalam bentuk karya seperti lukisan, monument, tugu, dan peralatan hidup.
2.6        Pengertian Nilai
Kandungan nilai suatu karya sastra lama adalah unsur esensial dari karya itu secara keseluruhan. Pengungkapan nilai-nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra buka saja akan memberikan pemahaman akan latar belakang sosial yang terjadi dalam masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Supardji Joko Darmo dalam Herman (2010:9) bahwa sastra mencerminkan norma, yakni ukuran perilaku yang oleh anggota masyarakat diterima sebagai cara yang benar dalam bertindak dan menyimpulkan sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan dan diusahakan oleh warganya dalam masyarakat. (Yunus, dkk. Dalam Herman, 2010:10)
Nilai adalah sesuatu yang penting atau hal-hal yang bermafaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta yang membentuk suatu cara dalam sistem masyarakat sosial yang merupakan rantai penghubung secara terus-menerus dari kehidupan generasi berikutnya.
Penjabaran nilai dalam karya sastra oleh banyak ahli, sangatlah beragam. Wahid dalam Herman (2010:11) mengemukakan bahwa seorang penulis tidak mungkin mengelakkan diri dari penggunaan ide mengenai nilai. Selanjutnya nilai-nilai tersebut dapat diuraikan dalam kelompok yang lebih kecil yaitu nilai agama terdiri atas nilai tauhid, nilai pengetahuan, nilai menyerah kepada takdir; nilai sosial terdiri atas nilai gotong royong, musyawarah, kepatuhan, kesetiaan dan keikhlasan; nilai moral terdiri atas nilai kejujuran, kesopanan, ketabahan, dan menuntut malu atau harga diri. (Zahafudin dalm Herman, 2010:11)

2.7        Nilai Pendidikan
Kata pendidkan berasal dari kata pedagogi (pedagogie, bahsa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogi (paedagogik) yang berarti ilmu pendidkan yang berasal dari bahasa yunani.pedagogi berasal dari 2 kata yaitu Paedos yang berarti anak dan Agoge yang berarti saya membimbing.sedangkan pedagogis ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa) dari sekolah. Pendidkan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan, dan keterampilan pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai pada perkembagnan iman. Perkembangan ini mengacu pada perkembangan manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia  meningkatkan hidupnya pada kehidupan alamiah menjadi berbudya dan bermoral.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge, dalam Malonda (2011:24) dalam bukunya Philosophy of Education, menyatakan dalam pengertian yang luas, pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya tidak semua pengalaman itu dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencontek, bolos sekolah misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya mempunyai banyak pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia itu sendiri, maupun dihadapan Tuhan.



BAB III  METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1  Metode dan Jenis Penelitian
3.1.1        Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif metode ini berhubungan langsung dengan pengumpulan dan pengkajian data dalam laporan penelitian. Penggunaan  metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistematis, factual, dan akurat melalui pengamatan yang direalisasikan melalui kata atau kalimat, bukan dengan data statistik. Semua akan dikemukakan dengan apa adanya sesuai kenyataan dan pengamatan yang ditemukan dalam penelitian.
Pendekatan kualitatif digunakan karena hal yang akan diteliti berkenaan dengan gejala-gejala sosial budaya, dalam hal ini masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan, serta penelitian ini juga berusaha untuk memahami konteks budaya masyaarakat Muna yang ada di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan sehingga dapa menemukan gambaran-gambaran umum terkait objek yang akan diteliti.



3.1.2        Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Peneliti terlibat langsung di lapangan untuk mengamati serta memperoleh dan mengumpulkan semua data yang dibutuhkan saat penelitian.

3.2  Data dan Sumber Data
Data dalam  penelitian ini adalah hasil pengematan pada prosesi upacara Karia yang direkam langsung serta wawancara dengan informan tokoh adat yang menjadi informan dalam penelitian ini. Sumber data dalam penelitian ini adalah sekelompok orang yang mengadakan prosesia Karia serta yang mengetahui jalannya prosesi karia itu sendiri, dalam hal ini tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat.

3.3  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik rekaman dan catat. Teknik pengambilan datanya yatu:
1.      Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan dalam prosesi karia pada masyarakat Muna di desa Torobulu kecamatan Laeya kabupaten Konawe Selatan.
2.      Teknik catat adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan prosesi karia dengan cara mencatat hal-hal penting di luar data rekaman untuk memperoleh informasi tambahan.



3.4  Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk kata atau kalimat untuk menemukan unsur-unsurnya. Adapun tahapannya yaitu:
1.      Transkrip rekaman data, yaitu memindahkan data kedalam bentuk tulisan yang sebenarnya.
2.      Klasifikasi data, mengumpulkan semua data yang sesuai dengan bentuk karakter yang memenuhi syarat.
3.      Penerjemahan data, yaitu menerjemahkan semua data yang dikumpulkan, ke dalam bahasa Indonesia
4.      Deskripsi, yaitu peneliti mendeskripsikan secara keseluruhan nilai yang terdapat dalam prosesi upacara karia.
5.      Analisis data, yaitu peneliti menganalisis semua data  yang telah dikumpulkan baik dalam bentuk tulisan maupun rekaman berdasasrkan maknanya.















DAFTAR PUSTAKA

Soetarno, 2008. Peristiwa Sastra Melayu Lama. Jakarta: Widya Duta
Djamaris Edwar, 1993. Menggali Khazana Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Balai Pustaka
Malonda Alimin, 2011. Nilai Pendidikan dan Nilai Moral dalam Falia pada Masyarakat Muna di Kecamatan Parigi Kabupaten Muna, Skripsi. Kendari: FKIP